Oleh : Titi Firda Kusni, SH.I
Kasus pernikahan dini, diberbagai daerah cenderung meningkat setiap tahunnya. Padahal, bocah bawah umur yang melakukan pernikahan dini itu dinilai belum mengerti akan tanggungjawab. Mereka belum mengerti, bahkan tidak tahu bagaimana memikul sebuah tanggungjawab.
Oleh karenanya, pernikahan dini bagi yang belum cukup umur akan ditolak oleh Kantor Urusan Agama (KUA), dan jika dalam keadaan mendesak (terpaksa), maka mereka akan diminta surat rekomendasi khusus (Dispensasi) dari Pengadilan Agama berdasarkan keputusan sidang.
Bagi setiap orang yang menikah dibawah batas ketentuan undang-undang, ia dinilai belum mengerti apa itu tanggungjawab. Dengan demikian, pernikahannya wajib disertai dispensasi, yang dikeluarkan oleh pengadilan agama sebagai syarat mutlak. Kasus ini, berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
Dalam ketentuan undang-undang Pemilu di Indonesia, pemilih adalah warga Indonesia yang berusia paling rendah 17 tahun atau sudah menikah yang terdaftar dalam daftar pemilih. Meskipun, mereka belum mengerti arti dari sebuah tanggungjawab. Namun, negara justru memuliakan bocah yang melakukan pernikahan dini tersebut.
Yang mana, kedua bocah yang sudah menikah itu secara otomatis diberikan hak pilih jika di daerah mereka menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Pemilihan Legislatif (Pileg) bahkan Pemilihan Presiden (Pilpres).
Mengapa “sudah/pernah menikah” diberi hak istimewa dalam politik?.
Apakah orang yang menikah dini sebelum batas usia yang ditetapkan oleh undang-undang, tiba-tiba saja menjadi orang yang bertanggung
jawab setelah menikah jika dibandingkan dengan teman mereka yang belum menikah?.
Jangan-jangan hak politik istimewa semacam ini, adalah salah satu daya tarik hingga pernikahan dini semakin fenomenal !!!
Begitu banyak praktik pernikahan anak dibawah umur yang dilakukan di negeri ini. Di sejumlah pedesaan di negeri ini, ditemukan pernikahan dilakukan segera setelah anak mendapat haid pertama. Hal itu, sebagaimana penelitian Unicef di Indonesia pada 2002 silam, mereka menemukan angka mencapai 11% kejadian pernikahan anak yang berusia 15 tahun (Usia dini).
Pemberian hak politik istimewa kepada mereka yang sudah/pernah menikah, sesungguhnya sebuah bentuk nyata diskriminatif terhadap anak-anak di bawah 17 tahun, tapi belum menikah. Diskriminasi itu juga tidak mendukung tujuan undang-undang menaikkan usia nikah. Usia dewasa untuk melakukan pernikahan ialah 19 tahun, hai ini merujuk pada undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan, usia dewasa pada undang-undang yang lama ialah 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk perempuan. Perbedaan usia pernikahan pria dan perempuan, kemudian dianulir Mahkamah Konstitusi pada tahun 2017.
Dalam pertimbangan MK, disebutkan pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945. Tetapi, juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Semestinya, jika MK konsisten menolak diskriminasi, frasa ‘sudah/pernah menikah’ dianulir dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Khususnya, yang memuat frasa “atau sudah/pernah menikah” mempertahankan diskriminasi terhadap anak itu sendiri, karena status perkawinan serta membuat ketidaksamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan. Untuk memberikan kepastian hukum dan menghapus diskriminasi terhadap anak, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengajukan pengujian terhadap UU No 8/2015 ke MK pada Selasa (12/11/2019) lalu.
Penggugat menilai frasa “sudah/pernah menikah” itu bertentangan dengan prinsip Pemilu dan Pilkada yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Keadilan tidak mungkin tercapai kalau ada privilege. Seolah-olah yang akan didapat anak kalau dia menikah ialah privilege untuk memilih.
Hampir semua negara di muka Bumi ini hanya menetapkan syarat umur tanpa disertai sudah/pernah menikah untuk pemilih.
Akan tetapi, usia minimal untuk pemilih berbeda-beda. Sebanyak 206 negara menetapkan usia 18 tahun. Sebanyak tiga negara menetapkan usia 17 tahun, termasuk Indonesia yang menambah frasa “sudah/pernah menikah”.
Ketentuan sudah/pernah menikah sebagai syarat pemilih di Indonesia pertama kali diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan DPR.
Sejak saat itu, frasa “sudah/pernah menikah” dicantumkan di setiap undang-undang pemilu dari Pemilu Legislatif, Pilpres, sampai Pilkada.
Frasa “sudah/pernah menikah” itu mengingkari keutamaan pemilu, yaitu tanggungjawab.
Pemilu, kata ahli filsafat hukum Reinholf Zippelius, harus secara efektif menentukan siapa-siapa yang memimpin negara, arah kebijakan apa yang mereka ambil, serta dalam demokrasi pendapat umum memainkan peran penting.
Perdebatan frasa “sudah/pernah menikah” sempat terjadi saat pembahasan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Akan tetapi, dari 10 fraksi di DPR saat itu, hanya Fraksi Nasdem yang menolak ketentuan “sudah/pernah menikah”.
Saatnya MK menganulir diskriminasi hak pilih atas frasa “sudah/pernah menikah”.
Perdebatan frasa “atau sudah/pernah menikah” itu, dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia yang menjadi syarat sebagai pemilih masih kerap menjadi perdebatan panjang yang tak kunjung usai.
Bahkan, frasa “atau sudah/pernah menikah” masih dimasukkan dalam undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menjadi payung hukum pelaksanaan Pemilu. (**)
Opini ini Karya Titi Firda Kusni, SH.I Mahasiswa S-2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Prof Dr Haizairin, SH dan Mantan Komisioner Panitia Pengawas Pemilu (Panwslu) Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu.